SEONGGOK MAAF
Buah karya: Novenia Munenda
14/04/2012
Awalnya, aku kira semua orang terlahir
tanpa seorang ayah. Sejak kecil, aku belum pernah bertemu ayahku. Dan aku tak
pernah mempertanyakan perihal keberadaan ayah kepada ibu.
Hingga suatu hari, saat sedang membantu
ibu memasak, iseng aku bertanya kepada ibu, apakah aku mempunyai ayah? Ibu
hanya terdiam dan mengangguk pelan. Walau hanya anggukan kecil, aku senang itu
berarti aku mempunyai ayah. Sebenarnya aku ingin bertanya lagi kepada ibu,
dimana ayah? Namun, melihat raut muka ibu yang berubah menjadi raut kesedihan,
ku urungkan niatku untuk bertanya. Aku berusaha memendam pertanyaan itu, namun
ibu sudah mengetahui apa yang ada di benakku. Kemudian, ibu menyuruhku ke kamar
dan belajar. Ku turuti perintah ibu dan kutinggalkan satu kalimat permohonan
kepada ibu, ku harap, aku bisa bertemu ayahku.
© © ©
Pulang kuliah, aku menaiki angkot jurusan
Gunung Ibul. Tiba di depan rumah, ku dapati seorang lelaki mengetuk pintu. Ku
dekati dia. Tak lama kemudian ibu membuka pintu. Ibu menyuruhku duduk di
sebelah lelaki itu. Kemudian ia menjelaskan semuanya, bahwa lelaki itu adalah
ayahku. Satu sisi, aku senang bisa bertemu ayah. Namun disisi lain, aku benci
ayah. Aku tak suka sifat ayah yang begitu saja meninggalkan ibu yang sedang
mengandung aku di rahimnya. Sekarang aku tahu bahwa semua laki-laki itu sama
saja, pembohong, tidak bertanggung jawab.
Hari demi hari ku coba untuk membiasakan
diri menerima ayah dalam kehidupanku. Pergi ke pasar, ke taman, selalu bersama
ayah. Membuat aku semakin dekat dengan ayah. Lambat laun, kasih sayangku kepada
ayah tumbuh seiring bergantinya waktu. Aku tahu, seburuk apapun ayah, tetap
saja dia ayahku. Ayah kandungku.
© © ©
Hari ini, aku ada
janji dengan ayah untuk menemaninya ke pasar. Seperti biasa, pulang kuliah aku
menaiki angkot untuk pulang ke rumah. Di tengah perjalanan, handphoneku
berbunyi. Pada layar handphone tertera nama penelepon, ibu. Ku jawab telepon
dari ibu. Ibu memberi kabar bahwa ayah sedang koma di rumah sakit. Seketika jantungku
berdetak kencang. Tubuhku merinding. Aku lemas, takut, khawatir.
Aku berlari di
sepanjang koridor rumah sakit menuju ruang dimana ayahku terbaring. Pada daun
pintu, tertulis nama Sumanto, ayahku. Tanpa pikir panjang, aku menerobos masuk
ke dalamnya.
Ayah, bangun ayah.
aku tak mau kehilangan ayah untuk kedua kalinya. Andai ayah tahu, saat ini
batinku menjerit, menangis. Ayah, maafkan aku. Aku sayang ayah. Ayah bangun.
Air mataku tak
terbendung lagi. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku masih ingat janjiku kepada
ayah untuk menemaninya ke pasar. Tapi, aku tak bisa mewujudkan janjiku. Ayah,
maafkan aku.
Tiba-tiba alat yang
dihubungkan ke tubuh ayah berbunyi panjang.
Tuuuuuuutt...........
Innalillahi wainnailaihiraji’un.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar