Kekalahan Rezim Zionis Israel di perang 8 hari Jalur Gaza membuat
kondisi internal rezim ilegal ini goyah. Krisis parah politik Israel
pasca kekalahan di Gaza semakin tampak. Kini Israel hanya menunggu badai
politik yang pastinya sangat mempengaruhi kondisi internal rezim ilegal
ini.
Gelombang kritik di dalam terhadap para pemimpin
rezim Zionis khususnya Perdana Menteri Benyamin Netanyahu
mengindikasikan eskalasi friksi politik di kalangan elite politik Tel
Aviv. Tak diragukan lagi bahwa dampak dari kekalahan Israel di Jalur
Gaza dalam menghadapi perlawanan kubu muqawama Palestina memaksa Tel
Aviv mengajukan gencatan senjata. Tentu saja hal ini kian memperlebar
jurang perselisihan di tubuh para pemimpin Israel dan mundurnya sejumlah
petinggi dari kancah politik sebelum digelarnya pemilu parlemen
mendatang.
Salah satunya adalah pencopotan Yuhanan
Laweker, sekretaris keamanan Netanyahu. Kegagalan agresi militer ke
Jalur Gaza rupanya membuat Perdana Menteri Rezim Zionis Israel, Benyamin
Netanyahu geram. Ia pun tak segan-segan memecat penasehatnya di bidang
militer.
Seperti dilaporkan al-Alam, menyusul
kekalahan Israel di agresi brutalnya terhadap Jalur Gaza dan
kegagalannya menghancurkan muqawama Islam, Netanyahu memecat penasehat
militernya. Di saat santernya berita mengenai ketidakpuasan warga Zionis
atas kegagalan Netanyahu dalam menangani serangan ke Gaza, Kantor PM
Israel menyatakan bahwa Elan Zamir diangkat menjadi penasehat bidang
militer baru menggantikan Yuhanan Laweker yang dicopot. Elan Zamir
selain diangkat menjadi penasehat militer Netanyahu juga merangkap
sebagai kepala Staf Angkatan Darat Israel.
Kritikan
pedas juga datang dari anggota parlemen yang mengecam kinerja Netanyahu
dan menuntut penguduran diri sang perdana menteri secepatnya. Shaul
Mofaz, Ketua Partai Kadima menyeru aksi demo besar-besaran anti
Netanyahu dan mendesaknya mengundurkan diri.
Kegoncangan politik Israel saat ini menyusul kekalahan Tel Aviv dalam
perang 8 hari di Jalur Gaza dan mengakibatkan popularitas serta posisi
politik Netanyahu semakin buruk. Hal ini juga terpaksa diakui oleh media
massa Barat yang selama ini mendukung penuh Rezim Zionis Israel.
Terkait hal ini, harian Economist mengkonfirmasikan anjloknya
popularitas Netanyahi di mata warga Zionis. Posisi politik Netanyahu
berkaitan erat dengan kondisi yang dialami mantan Perdana Menteri Ehud
Olmert setelah kekalahan rezim ini di perang 22 Hari di Gaza di akhir
tahun 2008.
Salah satu dampak politik dari kekalahan
Israel di perang 22 Hari Gaza tahun 2008 adalah pengunduran diri dan
tumbangnya para elite politik serta militer rezim ini serta pencopotan
Olmert dari posisi perdana menteri dan kancah politk. Hingga saat ini
dampak tersebut masih terasa.
Di iklim seperti ini
Netanyahu dengan slogan membalas kekalahan di perang 33 Hari menghadapi
Hizbullah Lebanon di tahun 2006 dan perang 22 Hari Gaza berhasil
menduduki posisi perdana menteri Israel. Namun transformasi Palestina
kian menujukkan kepalsuan janji Netanyahu. Di era kepemimpinan
Netanyahu, militer Israel malah mengalami kekalahan yang lebih memalukan
lagi. Israel kali ini hanya bertahan delapan hari di perang Gaza dan
terpaksa merengek minta gencatan senjata dan butir gencatan senjata
banyak memuat usulan Palestina.
Kelahanan memalukan
Israel kali ini dalam menghadapi muqawama Palestina juga meninggalkan
dampak besar di arena politik rezim ilegal ini. Instabilitas iklim
politik rezim ini usai kekalahannya di Gaza juga sangat mempengaruhi
pemilu parlemen dini yang rencananya akan digelar 22 Januari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar